Pendelegasian Wewenang dari Dokter ke Perawat

Tanggal : 02 Sep 2019 09:42 Wib


dr. Mahesa Paranadipa Maikel, M.H
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidyatullah Jakarta

Pendahuluan

Dalam menjalankan praktik kedokteran, seorang dokter sering dan harus dapat berkolabo rasi dengan tenaga kesehat an lain. Tenaga kesehatan lain yang paling sering berinteraksi dengan dokter adalah perawat. Hubungan kolaborasi antara dokte r dan perawat sering menimbulkan permasalahan.
Dalam praktiknya, perawat melakukan tindakan berdasarkan instruksi dokter. Perawat seringkali hanya menjalankan perintah dokter dan tidak mempunyai batas kewenangan yang jelas.

Tugas utama dokter adalah untuk menyembuhkan (to cure), yang meliputi diagnosis dan terapi penyakit. Sedangkan perawat melengkapi kegiatan dokter dengan perawat (to care). Hal ini yang memberikan perbedaan dalam etika medis dan etika keperawatan. Dua profesi ini saling melengkapi secara signifikan. Perawat memiliki kewenangan untuk melakukan praktik asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi keperawatan. Dalam praktik kesehariannya, dengan jumlah pasien yang harus ditangani terlampau banyak, keberadaan dokter tidak sepenuhnya dapat melakukan tindakan kedokteran. Belum lagi difasilitas kesehatan dengan minimnya tenaga dokter, maka pada suatu waktu dimana dokter harus meninggalkan fasilitas kesehatan karena tugas atau urusan keluarga maka menyebabkan seluruh tindakan harus dikerjakan oleh tenaga perawat.
Dalam kondisi ini diperlukan adanya pendelegasian wewenang dari dokter kepada tenaga perawat. Meski telah terbit Undang‐Undang Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, dengan belum adanya batasan yang jelas mengenai tindakan yang dapat didelegasikan sering kali menyebabkan tumpang tindihnya mengenai tugas asuhan keperawatan dan tugas yang merupa kan pendelegasian wewenang dokter. Situasi ini dapat menimbulkan risiko yang dapat berkaitan dengan permasalahan hukum.

Sifat dan Sumber Wewenang
Wewenang memiliki dua sifat, yakni wewenang yang bersifat atributif dan wewenang yang bersipat non‐atributif.  1. Kewenangan yang bersifat atributif adalah kewenangan yang melekat yang langsung diberikan berdasarkan undangundang. Kewenangan atributif yang melekat pada dokter adalah melakukan praktik kedokteran yang disebutkan di dalam Undang‐Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Sedangkan kewenangan atributif yang melekat pada perawat adalah melakukan praktik asuhan keperawatan se bagai mana disebutkan dalam Undang‐Undang Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan. 2. Kewenangan non‐atributif adalah kewenangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki kewenangan atau kompetensi di atas kepada seseorang yang memiliki kewenang an atau kompetensi lebih rendah. Kewenangan ini hanya bersifat sementara. Kewenangan non‐atributif  terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan pertanggung jawaban yaitu:
- Mandat adalah wewenang yang diberikan oleh dokter kepada perawat tanpa menghilangkan tanggung jawab hukum dari dokter.
- Delegasi adalah wewenang yang diberikan oleh dokter kepada perawat yang disertai dengan pelimpahan tanggung jawab hukum dari dokter. Kewenangan non‐atributif dapat juga diberikan oleh perawa t profesi kepada perawat vokasi sesuai dengan kemampuan terlatihnya.
Berdasarkan Undang‐Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 35 ayat (1), wewenang yang dimiliki oleh dokter terdiri atas: a. mewawancarai pasien;
b. Memeriksa fisik dan mental pasien;
c. Menentukan pemeriksaan penunjang
d. Menegakkan diagnosis;
e. Menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f. Melakukan tindakan kedokteran;
g. Menulis resep obat dan alat kesehatan;
h. Menerbitkan surat keterangan dokte r;
i. Menyimpan obat dalamjumlah dan jenis yang diizinkan;
j. Meracik dan menyerahkan obat
kepada pasien, bagi yang berpraktik di daerah terpencil dan tidak ada apotek. Kewenangan dokter di atas selanjutnya harus didasarkan kepada standar kompetensi dokter.

Pelimpahan Wewenang
Berikut ini beberapa kondisi yang mengharuskan seorang dokter melakukan pelimpahan wewenang yang bersifat delegasi antara lain 
1.Penanganan pasien dalam jumlah banyak, sedangkan jumlah dokter terbatas
2. Dokter meninggalkan fasilitas kesehatan untuk jangka waktu tertentu.
Pendelegasian dalam kondisi tersebut harus tertuang dalam standar prosedur operasional (SOP) di fasilitas kesehatan. Selanjutnya harus diterbitkan surat pendelegasian yang harus ditandatangani oleh dokter yang mendelegasikan dan perawat yang menerima delegasi. Pada kondisi di mana jumlah pasien sangat banyak sedangkan jumlah dokter terbatas, kewenangan yang dapat didelegasikan antara lain: 1. Pemeriksaan tanda vital 2. Anamnesis keluhan utama 3. Pelaksana an tindakan pengobatan. Penegakkan diagnosis serta menentukan penatalaksanaan medis sepenunnya menjadi kewenangan dokter. Pendelegasian wewenang dari dokter ke perawat harus mem pertim bangkan: 1. Kompetensi perawat yang didelegasikan 2. Evaluasi pelaksanaan wewenang yang di delegasikan. Di dalam UU Keperawatan Pasal 32 disebutkan pelimpahan wewenang secara delegatif untuk melakukan suatu tindakan medis diberikan oleh tenaga medis kepada perawat dengan disertai pelimpahan tanggung jawab. Pelimpahan delegatif hanya dapat diberikan kepada perawat profesi atau perawat vokasi terlatih yang memiliki kompetensi yang diperlukan. Menjadi permasalahan pendelegasian di sini adalah pada situasi di mana dokter harus meninggalkan fasilitas kesehatan untuk jangka waktu tertentu sehingga yang berada di fasilitas hanya perawat. Untuk melimpahkan kewenangan menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan disini masih menimbulkan pertanyaan:
1. Apakah perawat yang didelegasikan terlatih untuk menegakkan diagnosis sekian banyak penyakit medis?
2. Apakah perawat yang didelegasikan terlatih untuk memilih jenis pengobatan untuk sekian banyak penyakit medis? Pertanyaan ini haruslah dijawa b oleh organisasi profesi perawa t yaitu Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPN I) untuk menjabarkan kompetensi perawat yang bertugas difasilitas kesehatan. Penjabaran kompetensi tersebut ber tujuan untuk melindungai perawat dari implikasi hukum akibat melaku kan tindakan yang bukan merupakan kompetensinya (lack of skill). Berdasarkan UU Praktik Kedokteran, seluruh catatan me ngenai pasien dan tindakan kedokteran yang diberikan kepada pasien harus dicatat di dalam rekam medik. Rekam medik sen diri merupakan dokumen milik dokter, dalam arti yang waji b mencatat dalam rekam medik adalah dokter. Berdasar kan Manual Rekam Medis yang diterbitkan oleh Konsil Kedok teran Indonesia (KKI) tahun 2006, pencatat an direkam medik dalam dilakukan oleh selain dokte r dengan pendeleg asian secara tertulis.













 

Post Terkait

Aspek Hukum Transpalansi Organ

Tanggal Publikasi: 14 Aug 2019 13:31 | 5124 View

Terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ paling tidak telah menjawab pertanyaan mengenai prosedur transplantasi organ. Meski sebelumnya juga telah ada Peraturan Menteri Kesehatan…

Selengkapnya

Aspek Legal Pelayanan Home Care

Tanggal Publikasi: 12 Jul 2019 15:01 | 36847 View

Berkembangnya pelayanan kesehatan tentunya menjadi tantangan dan nilai tambah bagi pemberi pelayanan. Namun di sisi lain, masyarakat tidak luas tidak begitu memahami akan perkembangan pelayanan kesehatan tersebut. Dalam kondisi mereka…

Selengkapnya

Aspek Hukum Pelayanan Kedokteran Estetika bagi Dokter Umum

Tanggal Publikasi: 13 Jun 2019 10:05 | 7948 View

Pelayanan kedokteran berkembang sangat pesat seiring dengan perkembangan dan ilmu teknologi. Perkembangan tidak hanya terjadi dalam pelayanan‐pelayanan di tingkatan spesialistik, namun juga terjadi di tingkat pelayanan umum atau pertama. Perkembangan…

Selengkapnya

Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Perlindungan Hukum Dokter

Tanggal Publikasi: 08 May 2019 08:50 | 2543 View

Pelayanan kesehatan khususnya pelayanan di rumah sakit harus mengedepankan kepentingan dan keselamatan pasien. Hukum perikatan antara dokter dengan pasien bersifat perjanjian upaya (inspanning verbintenn is), yaitu dokter harus melakukan upaya…

Selengkapnya

Penetapan Cacat Akibat Kerja oleh Dokter Penasehat

Tanggal Publikasi: 30 Sep 2018 08:15 | 1657 View

Pada tahun 2014, PT.Jamsostek mencatat data sebanyak 397 kasus kecelakaan kerja setiap hari di Indonesia, 25 di antaranya mengalami kecacatan, dan 9 di antaranya meninggal dunia.

Selengkapnya