Intervensi Dini sebagai Langkah Intervensi Surgical Site Infection

Tanggal : 30 Sep 2018 08:11 Wib



Beberapa SSI memang terjadi relatif ringan sehingga dapat langsung diobati dengan cepat. Namun, jika dibiarkan dan berkembang akan menjadi sebuah luka yang lebih serius, bahkan bisa mengakibatkan kematian. WHO mencatat sekitar 11% pasien di beberapa
negara dengan pendapatan menengah ke bawah mengalami infeksi saat prose s operasi berlangsung. Maka dari itu, pencegahan SSI menja di salah satu faktor penting untuk mendukung hasil akhir dari prosedur pembedahan. Penanganan pasien, baik sebelum, sesaat maupun sesudah operasi, sangat penting. Bukan saja oleh perawat maupun dokter bedah, tapi juga seluruh bagian terkait dari rumah sakit yang melakukan prosedur operasi. 
Pencegahan SSI pada prosedur pembedahan secara khusus diatur dalam guideline WHO, CDC‐HICPAC (Centers of Diseases Control) serta ACS ‐ SIS (American College of Surgeons and Surgical Infection Society). Global Guidelines for the Prevention of Surgical Site Infection ini dikeluarkan November 2016 dan terdiri dari 29 jenis rekomendasi yang terdiri dari 23 topik pencegahan SSI, mulai dari Pre, Intra, dan Postoperative. 
Dalam komitmennya untuk mendukung, sekaligus mengurangi risiko bagi pasien yang menderita SSI, PT Johnson & Johnson Indonesia menghadirkan Prof. Charles E. Edmiston Jr., PhD., CIC Emeritus Professor of Surgery dari Department of Surgery, Medical College of Wisconsin Milwaukee, Wisconsin, AS. Dalam wawancara ekslusif di Double Tree by Hilton, di Cikini, Jakarta, pada 21 Agustus 2018, Prof. Edmiston mengungkapkan bahwa SSI disebabkan bakteri yang menyerang area sayatan, baik saat proses operasi maupun setelah operasi, dalam jangka waktu 30 hari usai proses operasi. SSI biasanya terjadi di beberapa prosedur operasi, seperti colorectal, gastro intestinal, jantung dan pembuluh darah, saraf, kulit, ortopedi, serta kandungan.
“SSI paling sering disebabkan bakteri Pseudomonas, karena bakteri ini mudah beradaptasi di ruangan atau tempat lembab, sehingga mampu mengontamina si udara di ruangan operasi dan menyebabkan SSI. Pedoman khusus SSI (surgical care bundle) belum ada 10 tahun yang lalu. Pedoman SSI bisa dibilang sebagai konsep baru di dunia kesehatan untuk menurunkan risiko SSI, karena melihat ada dampak cukup besar yang harus dihadapi oleh pasien serta pelayanan kesehatan bila nantinya timbul infeksi pada luka sayatan operasi,” ungkap Prof. Edmiston.
Selain tiga faktor utama yang bisa meningkatkan risiko infeksi pasca operasi, yaitu kebiasaan merokok, diabetes, dan obesitas, SSI juga bisa terjadi akibat efek dari kebersihan diri pasien, higienitas para tim medis, ruang operasi dan ruang rawat inap, hingga perawatan luka pasca operasi. Indonesia sendiri masih memiliki tantangan dalam hal pencegahan SSI, misalnya mmasalah higienitas. “Personal higienitas pasien juga masih menjadi salah satu masalah yang harus diperbaiki agar angka SSI tidak semakin meningkat,” jelas dr. Siusanto Hadi, SpB‐KBD, dari RS Siloam Surabaya, yang juga hadir dalam wawancara eksklusif tersebut. 
Salah satu upaya higienitas intervensi SSI adalah adalah dengan preoperative bathing atau mandi sebelum operasi. Maka, sebelum operasi pasien disarankan untuk mandi dan membersihkan diri menggunakan sabun anti-biotik agar mengurangi bakteri yang menempel di tubuh sebelum operasi sehingga risiko infeksi luka operasi akan menurun. Penggunaan benang operasi antiseptik yang telah dilapisi antiseptik dengan kandungan triclosan juga sangat disarankan. 
“Antiseptik lebih dipilih daripada antibiotik, karena diyakini tidak akan menimbulkan resistensi pada bakteri. Bahkan tahun 2002, banyak yang skeptis akan penggunaan benang antiseptik untuk operasi,” terang Prof. Edmiston.
Selain itu, masalah lain yang dihadapi Indonesia adalah masalah update fasilitas, nutrisi pasien, dan merokok. Update fasilitas diartikan penyebaran fasilitas kesehatan yang merata, tidak hanya di kota besar, tapi juga di daerah terpencil. Prof. Edmiston pun menegaskan bahwa SSI merupakan masalah global, bukan hanya satu negara. Oleh karena itu, pencegahan SSI harus melibatkan dokter, perawat, institusi kesehatan, dan pemerintan sebagai penyedia fasilitas kesehatan. “Misalnya pemerintah bisa meningkatkan pelayanan kesehatan di semua daerah serta pihak industri yang dapat membantu menemukan berbagai teknologi yang dapat mencegah pertumbuhan kuman penyakit saat operasi,” tegas Prof. Edmiston. 

Post Terkait

FIK UI Rancang Strategi untuk Memutus Rantai Infeksi pada Anak Sekolah

Tanggal Publikasi: 10 Jul 2020 10:16 | 1365 View

Tim Pengabdian Masyarakat (pengmas) Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI) yang dipimpin oleh Dr. Hanny Handiyani, S.Kp., M.Kep menggagas sebuah program sebagai upaya promotif dan preventif untuk memutus rantai…

Selengkapnya

Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (FFUI) meresmikan Empat Ruang Pendukung Pendidikan Akademik

Tanggal Publikasi: 10 Jul 2020 10:06 | 1560 View

Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (FFUI) meresmikan Empat Ruang Pendukung Pendidikan Akademik yaitu Ruang Apotek Simulasi, Laboratorium Nanoteknologi, Laboratorium Paragon Innovation Semisolid Center, dan Ruang Multimedia. Komite Etik Penelitian Kedokteran gigi…

Selengkapnya

Fakultas Farmasi UI Resmikan Laboratorium dan Ruang Apotek Simulasi

Tanggal Publikasi: 10 Jul 2020 10:00 | 2089 View

Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (FFUI) meresmikan Empat Ruang Pendukung Pendidikan Akademik yaitu Ruang Apotek Simulasi, Laboratorium Nanoteknologi, Laboratorium Paragon Innovation Semisolid Center, dan Ruang Multimedia. Peresmian dilakukan oleh Rektor UI…

Selengkapnya

Deteksi Dini Saraf Penciuman, Cegah Kerusakan Otak !

Tanggal Publikasi: 02 Sep 2019 09:43 | 2178 View

Pada Oktober 2018 lalu, dilaksanakan Soft Opening Paviliun Bonaventura yang diadakan didaerah Jakarta Utara dan sekitarnya. Dipersembahkan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang lebih lengkap dengan tetap mengedepankan azas pendidikan,…

Selengkapnya

“Sentuhan Cinta“

Tanggal Publikasi: 13 Aug 2019 10:51 | 1271 View

Sukses Mendapatkan Dukungan Lebih dari 145.000 para Ibu di Indonesia untuk Tingkatkan Kualitas Kesehatan dan Kesejahteraan Bayi Indonesia.

Selengkapnya